USIA CAKAP MENIKAH DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM
USIA CAKAP MENIKAH DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM
Oleh : Afif Zakiyudin, S.Sy[1]
Sebagai sebuah ikatan, perkawinan yang dibentuk antara seorang pria dan seorang wanita itu berdasarkan ikatan batin. Ikatan batin, bukan soal ketertarikan fisik, melainkan gerakan hati yang terdalam antara kedua belah pihak bahwa keduanya cocok untuk hidup bersama. Disini, sisi kecocokan hati dalam batin menjadi motivasi dasar untuk mau mengikatkan diri secara lahiriah. Menjadi jelas disini ialah motivasi dasarnya yaitu ungkapan batin.
Ungkapan batin kedua belah pihak ini, hanya dapat dirasa dan diketahui oleh keduanya karena hanya diketahui oleh kedua belapihak, maka makna visioner ialah tak terpisahkan secara batin. Ini belum sah menurut aturan keagamaan dan negara, serta sosiologis suatu masyarakat. Karena itu, supaya diakui secara resmi, maka berdasarkan ungkapan hati keduanya itu, yang telah menjadi suatu institusi dasar, yang menurut hemat penulis menjadi pembentuk institusi lain adalah ‘institusi batin’ kedua pasangan itu.
Ungkapan pengikatan diri secara batin yang sudah ada didalam ‘institusi batin’ sejatinya harus diakui secara keagamaan dan sosial-kemasyarakatan. Sehingga ‘institusi batin’ dapat diketahui oleh masyarakat umum bahwa kedua pasangan ini telah menjadi suami istri. Maka, kedua pasangan ini menyatakan diri didalam janji kesepakatan perkawinan antara keduanya didepan wakil lembaga keagamaan dan disaksikan oleh wali perkawinan.
Manusia, melalui lembaga perkawinan menyusun struktur hidupnya dalam suatu organisasi rumah tangga yang kemudian disebut dengan keluarga. Keluarga kemudian menjadi elemen penting bagi terbangunnya sebuah komunitas manusia yang setiap elemen dalam komunitas itu berkomitmen untuk menaati norma-norma hasil kesepakatan bersama untuk secara bersama pula mencapai tujuan hidup komunitas.[2]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dinyatakan bahwa perkawinan bagi manusia adalah suatu keniscayaan. Dalam konteks teologis, perkawinan adalah sunnah atau ketentuan Tuhan, sebagaimana Nabi Adam AS. diberi tempat oleh Allah Swt di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman hidup, menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan.
Sebagai perbuatan manusia dewasa, perkawinan merupakan peristiwa yang dapat berlangsung setelah melalui pertimbangan baik rasional maupun emosional atau mental. Selain dipikirkan dan diterima oleh akal sehat, semua persiapan perkawinan adalah persiapan mental dari calon pasangan itu sendiri. Persiapan mental ini dimulai dari hal yang paling sederhana, yaitu mengenal dan memahami pasangan serta memahami arti perkawinan. Dalam tahap persiapan perkawinan, membina hubungan sosial yang romantis dan harmonis merupakan hal yang penting dan perlu dijalani.[3]
Dari segi filosofis, unsur filosofis sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[4]
Dalam Pasal 1 UU Perkawinan ini menyebutkan 2 (dua) tujuan perkawinan yang sudah dibentuk oleh suami istri, yaitu keluarga yang bahagia dan keluarga yang kekal. Keluarga yang bahagia bukan terukur dengan banyaknya harta. Bukan juga diukur dengan banyak anak yang akan menjadi pewaris generasi berikutnya. Kebahagian dalam keluarga mencakup dua sisi, yaitu sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah harus nampak dalam keharmonisan hidup melalui sikap jujur, disiplin, vitalitas, pengaturan ekonomi keluarga dengan bijak, perencanaan dan pengaturan kelahiran anak, relasi dalam keluarga baik internal maupun eksternal, tangguh menghadapi cobaan, dan lain-lain. Sedangkan sisi batiniah terungkap dalam saling menerima satu sama lain walau jamak perbedaan, saling mendukung atas kebenaran dan kejujuran dalam berperilaku dan perbuatan, kesanggupan menghargai setiap perbedaan pasangan, saling menghargai dan menghormati baik antar pasangan maunpun anggota keluarga, dan lain-lain.
Sementara keluarga yang kekal ialah keluarga yang utuh. Keutuhan keluarga ini harus dipertahankan hingga maut menjemput setiap pasangan. Kekekalan berkeluarga dapat terlihat dalam keharmonisan hidup berkeluarga. Keharmonisa berkeluarga jika secara lahiriah dan batiniah terpenuhi. Disini, sebuah keluarga yang telah menjanjikan diri secara publik teruji untuk mencapai kebahagian dan kekekalan hidup berkeluarga. Maka keluarga yang bermartabat dan berkualitas, adalah sebuah proses yang harus diperjuangkan bersama. Bahkan tujuan yang disebutkan dalam pasal 1 UU Perkawinan tadi bukan akhir dari hidup berkeluarga, namun menjadi sebuah proses yang harus digapai untuk menjadi sebuah keluarga yang berkualitas dan bermartabat.
Keluarga sebagai basis inti masyarakat, adalah wahana yang paling tepat untuk memberdayakan manusia dan membendung berbagai faktor yang mendorong lahirnya berbagai bentuk frustrasi sosial. Pengertian ini bersifat aksiomatis dan universal dalam pengertian bahwa masyarakat mana saja memerlukan wahana pemberdayaan itu. Di Eropa misalnya, saat ini para sosiolog merasa gelisah karena prediksi kepunahan bangsa. Betapa tidak, tatanan, sakralitas dan antusiasme terhadap keluarga sudah tipis sekali di kalangan muda. Hal itu tentu saja berdampak buruk terhadap angka pertumbuhan penduduk. Berbagai penyakit sosialpun muncul. Mulai dari angka bunuh diri yang tinggi hingga anomali kemanusiaan yang lain.
Dalam pembentukan keluarga, perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan ikatan dan persatuan. Adanya ikatan keturunan, diharapkan mempererat tali persaudaraan anggota masyarakat dan antar-bangsa. Selain fungsi sosial, fungsi ekonomi dalam berkeluarga juga akan tampak dalam pengertian bahwa perkawinan merupakan sarana untuk mendapatkan keberkahan, karena apabila dibandingkan antara kehidupan bujangan dengan kehidupan orang yang telah berkeluarga, maka terlihat bahwa yang telah berkeluarga lebih hemat dan ekonomis dibandingkan dengan yang bujangan. Selain itu orang yang telah berkeluarga lebih giat dalam mencari nafkah karena perasaan bertanggungjawab pada keluarga lebih besar daripada para bujangan.[5]
Analisis Filsafat Hukum terhadap kriteria cakap menikah dalam Hukum Perkawinan di Indonesia
Seperti diketahui bahwa negara sudah mengatur tentang perkawinan dan hidup kekeluargaan, maka setiap orang perlu mengetahui hakikat keduanya. Untuk mengetahui hakikat keduanya dapat dilihat dari aspek ontologis, epistemologi dan aksiologi dari perkawinan dan hidup kekeluargaan.
Aspek ontologi yaitu dapat dipahaminya hakikat hubungan antara manusia dengan nilai-nilai sebuah perkawinan dan keluarga yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan. Dalam kontek Indonesia maka hakikat dasar ontologi manusia yang mendasari makna hidup keluarga dan perkawinan adalah bersumber dari nilai-nilai Pancasila sebagaimana terdapat di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menjadi grundnorm Negara Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu, maka konsep ideal yang dicita-citakan berlangsung dalam keadaan serasi yang mencerminkan dapat dipenuhinya kebutuhan keluarga dan perkawinan yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan pribadi/ individu, sosial dan Tuhan.[6]
Sementara aspek epistemologi adalah upaya filosofis untuk memahami hakikat kebenaran dan pengetahuan yang dapat dicapai rasio manusia atas hukum keluarga dan perkawinan sehingga akan dapat dipelihara dengan baik sebagai sarana manusia untuk menunaikan kehidupannya di dunia.
Aspek aksiologi berupaya mengetahui hakikat esensi nilai yang terdapat di dalam hukum keluarga. Fokus dari nilai disini adalah mengenai baik dan buruk dari sudut pandang moral dan etika dan manfaat. Berpangkal dari keluarga yang terbentuk atas dasar perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, kemudian menimbulkan hubungan keluarga yaitu dibedakan atas dasar keturunan darah maupun hubungan perkawinan. Demikian pula timbul hubungan kewarisan yang menjadi kepentingan negara untuk mengaturnya dalam hukum positif.
Aspek aksiologi sebagai bagian dari filsafat sangat penting sebagai landasan ontologi manusia yang berimplikasi pada tatanan pengetahuan yang dihasilkannya. Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 diatur tentang definisi perkawinan (Pasal 1) dan keabsahan perkawinan (Pasal 2) memiliki hubungan kebenaran korespondensi dengan filosofis ontologi manusia yang bersifat monopluralis. Seperti diungkapkan oleh almarhum Notonagoro bahwa landasan ontologis manusia yang monopluralis adalah landasan bagi Pancasila yang menjadi sebuah sistem filsafat, menjiwai segenap peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia ini. Ini berarti kodrat manusia antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk kehidupan keluarga yang bahagia telah diadopsi oleh UU Nomor 1 Tahun 1974.
Pendefinisian perkawinan oleh Undang-undang yang mendasarkan keabsahan perkwinan bila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya menunjukkan bahwa hukum keluarga Indonesia sesuai dengan nilai filosofis ontologi manusia monopluralis yang mengakui nilai religius yang bersifat mutlak. Sehingga dapat diartikan bahwa filsafat hukum keluarga akan berperan positif membangun hukum yang dibutuhkan masyarakat melaui dibentuknya perundang-undangan. Selain itu sekaligus memiliki tugas penting untuk mengembangkan sistem hukum nasional serta memberikan pemahaman yang benar akan makna setiap aturan hukum positif.
Suatu perkawinan, secara ideal dilakukan oleh pasangan pria-wanita yang telah memiliki kematangan, baik dari segi biologis maupun psikologis. Kematangan biologis adalah apabila seseorang telah memiliki kematangan baik dari segi usia, maupun dari segi fisik. Sedangkan kematangan psikologis adalah bila seseorang telah dapat mengendalikan emosinya dan dapat berpikir secara baik, serta dapat menempatkan persoalan sesuai dengan keadaan subjektif- objektifnya.[7]
Menurut perspektif ilmu psikologi, seorang individu dinyatakan dewasa jika telah lepas atau melewati masa remaja. Adapun masa remaja adalah tahap usia yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir dan ditandai oleh pertumbuhan fisik secara cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadiannya (Daradjat, 1995: 8). Hal inilah yang membawa para pakar pendidikan dan psikologi condong untuk menamakan tahap-tahap peralihan tersebut dalam kelompok tersendiri, yaitu remaja yang merupakan tahap peralihan dari kanak-kanak, serta persiapan untuk memasuki masa dewasa.
Dari perspektif sosiologis, usia remaja dapat diartikan sebagai masa berintegrasinya seseorang dengan masyarakat dewasa. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas umum periode perkembangan.
Perkawinan sebagai sebuah institusi, dipandang dari perspektif sosiologis adalah lembaga keluarga yang tidak hanya menjamin kelangsungan hidup manusia tetapi juga menjamin stabilitas sosial dan eksistensi yang bermartabat bagi pria dan wanita dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, lembaga perkawinan yang dibangun oleh pasangan yang secara psikologis belum memiliki kematangan, dapat menimbulkan disharmoni dalam masyarakat, seperti dapat dilihat pada fenomena anak terlantar. Dalam perkembangan berlakunya ketentuan Undang-undang nomor 1 tahun 1974, terutama terkait dengan pasal 7 ayat (1), angka perceraian relatif tinggi yang disebabkan oleh faktor kesehatan. Salah satu problem kesehatan yang menyebabkan perceraian itu terkait dengan kesehatan reproduksi wanita yang pada gilirannya mengakibatkan pasangan tidak mampu memiliki keturunan.
Jika pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menentukan usia perkawinan wanita pada usia 16 tahun, maka peringatan para ahli kesehatan patut dijadikan bahan pertimbangan untuk merenungkan resiko yang akan terjadi bagi wanita. Beberapa ahli kesehatan menyatakan bahwa perkawinan dari pasangan usia muda bagi wanita, terutama di bawah usia 17 tahun beresiko kena kanker serviks.
Perkawinan pada usia matang, oleh beberapa ahli justru menunjukkan manfaat atau dampak kesehatan yang positif bagi pria. Penelitian mengenai hubungan antara perkawinan dan kesehatan pria itu sudah dilakukan sejak awal tahun 1858 oleh William Farr, ahli epidemiologi Inggris, sebagaimana ditunjukkan oleh Morabia dalam bukunya bahwa kadar hormon stres kortisol pria berkurang sehingga mengurangi kemungkinan terkena penyakit kronis dan membuat pria hidup sehat lebih lama.[8]
Seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undang-undang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat daripada pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menyepakati bahwa usia miminum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Hal ini didasarkan bahwa usia 19 tahun merupakan usia ideal yang signifikan dalam membangun atau menciptakan sebuah perkawinan ideal. Meskipun usia 19 tahun itu tidak disebutkan secara eksplisit, namun dalam keterangan yang sifatnya lebih praktis dari uraian Quraish Shihab, ditunjukkan bahwa perkawinan ideal itu terbangun dari pasangan yang berusia matang atau dewasa.[9]
Perkawinan ideal merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic demand) sekaligus tujuan bagi setiap pasangan sebagai manusia normal. Tanpa kebutuhan dan tujuan itu, kehidupan perkawinan pasangan menjadi tidak sempurna. Lebih dari itu, menyalahi fitrahnya. Usia perkawinan dalam pemikiran hukum Islam hanya dipersyaratkan telah mencapai baligh antara kedua calon suami-istri. Syarat ini inheren dengan syarat-syarat perkawinan. Disamping itu, terdapat rukun perkawinan seperti yang dijelaskan masing-masing dalam bukunya oleh Ramulyo, juga oleh Dahlan.[10]
Didasari oleh filsafat hukum Islam, ushul ul-fiqh menegaskan bahwa salah satu syarat sah perkawinan adalah telah mencapai usia baligh sehingga secara tegas harus memenuhi ketentuan hukum Islam yang sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu; “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Usia perkawinan menurut hukum Islam, jika disimplifikasikan dengan syarat dan dasar perkawinan, maka mencapai usia baligh harus meliputi kemampuan fisik dan mental. Secara biologis, calon suami-istri telah mencapai usia baligh karena ditandai oleh perubahan fisik. Adapun aspek mentalitasnya, masih membutuhkan pembinaan secara utuh, tidak perlu kondisi mental psikologis yang labil, dan masih dipengaruhi oleh faktor kecenderungan praktis dalam kaitan fisik-biologisnya. Konsekuensi logis dari proses konvergensi konsepsional UU Perkawinan Indonesia dengan pemikiran atau filsafat hukum Islam memungkinkan lahirnya variabel pemikiran tentang perubahan Undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1), termasuk penetapan usia perkawinan menjadi tepat. Usia perkawinan yang ditetapkan secara konvergen menjadi bagian dari syarat perkawinan, sehingga tantangan ke depan dapat tereliminasi.
Dengan tidak adanya lagi pembedaan usia perkawinan semakin membakukan peran dan status antara suami-istri dalam pola relasi yang seimbang. Kesetaraan dari segi usia ideal, secara lebih tegas dapat dimaknai bahwa usia pria, yaitu 19 tahun harus sama dengan usia wanita. Masing-masing pasangan suami-istri berada pada usia 19 tahun dengan pertimbangan bahwa dari aspek psikologis, sosiologis, dan kesehatan, keduanya seimbang.
Hal itu menjadi pertimbangan disebabkan oleh karena dalam kenyataan, banyak rumah tangga yang berakhir dengan perceraian disebabkan adanya perbedaan mendasar di antara suami-istri. Dalam bahasa agama, suami-istri yang demikian disebut tidak sekufu. Misalnya suami berasal dari keluarga yang ekonominya mapan sementara istri dari keluarga sederhana, atau istri yang berasal dari keluarga yang berstatus sosial tinggi sedangkan suami berasal dari keluarga biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut sering menjadi sumber perselisihan berkepanjangan yang pada akhirnya menyebabkan ketidakharmonisan keluarga tersebut.[11]
Sakralitas lembaga perkawinan berkaitan erat dengan eksistensi manusia sebagai makhluk yang paling mulia di antara mahkluk Allah SWT lainnya. Hubungan-hubungan antara sesama manusia, khususnya hubungan antara seorang pria dan seorang wanita dewasa dalam rangka penyaluran hasrat biologisnya diatur sedemikian rupa sehingga tidak liar. Hubungan antara manusia tentu berbeda dengan hubungan makhluk Allah SWT lainnya seperti binatang. Hubungan-hubungan antara sesama binatang itu, termasuk hubungan biologis yang tidak diatur sebagaimana pada manusia.
Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dipahami bahwa sebagai salah satu syarat untuk mencapai keluarga sakinah adalah memelihara sakralitas (kemuliaan, kesucian) lembaga perkawinan. Bagi yang sudah menjalaninya tentu berusaha senantiasa menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan keluarganya sehingga perkawinan itu tetap lestari. Sedang bagi yang belum dan akan memasuki dunia perkawinan, maka cara memelihara kesakralan perkawinan itu adalah memulainya dengan niat yang tulus-ikhlas, memenuhi persyaratan-persyaratannya serta melaksanakannya sesuai dengan tuntunan dan kaidah agama, sosial dan budaya yang dianut oleh masyarakat. Berdasarkan car itu, tampak benar bahw lembaga perkawinan betul-betul sakral dan merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Disediakannya lembaga-lembaga perkawinan yang sakral bagi umat manusia, selain untuk memelihara kemuliaan manusia, juga dimaksudkan agar terwujud generasi atau keturunan yang jelas. Dari generasi itu akan lahir generasi berikutnya secara berantai dengan untaian hubungan yang jelas. Pengaturan hukum keluarga, termasuk hukum perkawinan akan menjamin terpeliharanya sumber daya manusia. Indikasinya adalah bahwa keluarga yang sehat akan melahirkan generasi yang berkualiatas, tidak hanya dari segi lahiriah tapi juga dari segi batiniah.
Dalam konteks kecerdasan, batas usia perkawinan ideal harus diformulasi sebagai sebuah agenda yang berkelanjutan untuk memperoleh sebuah periode generasi yang benar-benar berkualitas. Persaingan global yang akan dihadapi, salah satunya adalah menyangkut kualitas SDM sehingga sudah saatnya memberi peluang pendidikan bagi masyarakat untuk mengupayakan terbangunnya generasi-generasi berkualitas baik. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka konsep masyarakat madani di Indonesia akan dengan mudah dapat diciptakan.
Dalam kaitannya dengan penciptaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas baik, keluarga sakinah juga memegang peranan yang sangat penting. Keluarga yang sehat, baik dan sejahtera lahir-batin akan melahirkan keturunan atau generasi yang sehat dan kuat. Keturunan-keturunan demikian akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cerdas dan pada waktunya nanti akan menjadi SDM yang berkualitas baik, yang tidak hanya bermanfaat bagi keluarganya, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat luas.
Indikasi dan gambaran kehidupan rumah tangga yang sakinah. secara normatif tertuang dalam beberapa ayat al Qur’an. Setidaknya enam kali kata “sakinah” diulang (dalam dua surah dan enam ayat), yaitu antara lain; QS. at-Taubah ayat (25-26), al-Fath ayat (4), (18), (26). Oleh karena itu, keluarga yang sakinah harus dijadikan tujuan dengan kesiapan mental dan kedewasaan usia karena akan menentukan stabilitas jiwa dan kematangan psikologis dari pasangan suami-istri.
Meskipun usia tidak menjamin ukuran sebuah kedewasaan, namun setidaknya pengalaman ataupun fakta dan data perlu dipertimbangkan. Data dari beberapa laporan perkara di Pengadilan Agama menyebutkan bahwa bahwa masyarakat yang pernikahannya dimohonkan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama, rata-rata tidak bertahan lama usia pernikahannya. Artinya pernikahan yang dilangsungkan diusia muda, tidak sedikit pada akhirnya berakhir dengan perceraian.
Inilah mengapa kemudian kedewasan dan kematangan relatif penting, untuk menjaga kelanggengan pernikahan karena pada dasarnya salah satu asas menikah dalam islam adalah lestari, maksudnya upayakan sebisa mungkin bahwa pernikahan itu adalah untuk selamanya.
Refrensi :
- Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hope, 1996)
- Abdul Ghalib Ahmad, Pernikahan Islam (Solo : Pustaka Manthiq, 1997)
- Andi Sjamsu AlamUsia Ideal untuk Kawin, sebuah Ikhtirar Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta : Kencana, 2006)
- Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Penyuluhan Hukum Agama, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Jakarta : Depag RI, 1996)
- Hidun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : LBH Apik, 2005)
- Jazim Hamidi, Hermeunitika Hukum (Yogyakarta “ UII Press, 2005)
- Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan (Jakarta : Bumi Aksara, 1996)
- Peuonoh Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Studi Perbandingan Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1988)
- Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung, Mizan, 2000)
[1] Penulis adalah Honorer Pengadilan Agama Kajen.
[2] Peuonoh, Daly, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Studi Perbandingan Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-negara Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1988)
[3] Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam Penyuluhan Hukum Agama, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Jakarta : Depag RI, 1996)
[4] Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern (Jakarta : Ciputat Press, 2003)
[5] Abdul Ghalib AHmad, Pernikahan Islam (Solo : Pustaka Manthiq, 1997)
[6] Jazim Hamidi, Hermeunitika Hukum (Yogyakarta “ UII Press, 2005)
[7] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan (Jakarta : Bumi Aksara, 1996)
[8] Alfredo Morabia, A History of Epidemiologic Methodes and Concepts (Basel : Birkhauser, 2004)
[9] Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung, Mizan, 2000)
[10] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta : Ikhtiar Baru Van Hope, 1996)
[11] Hindun Anisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : LBH Apik, 2005)