Bukan Layangan Putus
BUKAN LAYANGAN PUTUS
Sore itu, kuterbangkan layanganku. Aku membuatnya sendiri. Meski tak sempurna, tapi aku sangat bangga. Bagaimana tidak. Bambunya aku cari sendiri. Aku potong, lalu kuraut sebisaku supaya seimbang dan lentur di kedua sisinya. Beberapa sayatan luka mengenai jemariku. Tapi itu perjuanganku. Aku ingin layanganku terbang tinggi. Seperti burung yang melayang riang.
Aku tak sendiri. Teman-temanku di sekitar rumah, ikut bermain bersamaku. Hingga matahari terlihat semakin merendah di ujung barat.
Satu persatu temanku pun kembali ke rumah masing-masing seiring ayah mereka pulang dari rutinitas bekerja.
Aku melihat temanku, Farhan. Gerak tubuhnya girang. Ceria menyambut ayahnya pulang. Meminta dibonceng bersama ayahnya. Tangan ayahnya tidak kosong. Ada bungkusan makanan kesukaan Farhan yang ikut dibawa. Farhan segera memegang erat bungkusan itu. Pasti ia senang sekali.
Aku pun begitu. Saat nanti ayahku pulang. Aku akan memintanya melihat layanganku yang berhasil terbang. Mungkin kami akan bermain berdua sejenak sebelum kembali ke rumah.
Seperti Santi, temanku yang lain. Ia berlari-lari. Wajahnya berbunga. Suaranya lantang memanggil, lalu memeluk ayahnya. Sangat erat dan riang. Santi pun digendong ayahnya. Suara tawa kecilnya masih aku dengar hingga akhirnya ia berlalu menuju rumah di sudut jalan desa.
Lalu aku menanti ayahku. Tak sabar ingin segera kurasakan kehangatan yang sama.
Lama tak kunjung tiba. Semakin lama aku lihat senja jingga mulai memerah. Suram. Tapi aku masih tak melihat ayah.
Kesalku tak terbayar. Aku tarik sekuatnya senar layanganku. Hingga senar itu lunglai. Jatuh perlahan. Layanganku putus senada harapanku menanti ayah yang sama pupus.
Suara azan dari masjid itu seolah menyuruhku segera pulang. Aku pun pulang. Tapi tidak bersama ayah. Tidak pula bersama layangan. Hanya ada senar kusut karena tak tergulung sempurna.
Kecewaku membara. Sedihku mendalam. Tak sabar aku temui ibuku. Lalu aku tanyakan kepadanya.
"bu, mana ayah?"
Ibuku diam. Tapi kemudian ia menjawab.
"ayah dan ibumu sudah bercerai nak"
Hatiku remuk. Bergumpal tak beraturan. Entah apa artinya cerai itu. Yang aku tahu, itulah sebabnya ayahku tidak menjemputku pulang saat bermain tadi.
Lamunanku seketika pilu. Menyayat.
Kepada siapa aku memanggil ayah.
Lengan kekar siapa yang membantuku menerbangkan layangan.
Tubuh tegap siapa yang akan aku peluk saat aku letih bermain.
*
Pintu rumahku terbuka, beriringan dengan suara pagar besi yang terdorong. Tak lama setelah suara wiridan di masjid usai. Itu pula yang membuatku terjaga. Tubuhku masih tertahan di ubin kamar. Namun pandanganku sudah mulai mampu mengenali sumber suara. Tak salah lagi. Itu Ayahku. Rupanya ia telat pulang kerja.
Aku bahagia bukan kepalang. Ceritaku hanya bunga tidur soreku tadi.
Aku berlari memeluk ayahku. Histeris. Lebih dari biasanya. Aku raih lengannya. Aku tarik, menggiringnya ke dapur. Lalu aku eratkan di tangan ibuku yang sedang menghangatkan sayur lodeh.
Aku peluk mereka berdua. Lalu aku katakan kepada mereka.
"ayah, ibu, aku berdoa semoga kita menjadi keluarga yang selalu bahagia, utuh, dan saling menyayangi hingga akhir hayat"
Sorot mataku lalu tertuju pada satu sudut kamarku. Layangan itu utuh tergantung. Tergoyang seirama angin yang meniupnya dari sela jendela dan dari pintu yang menganga. (Erfa Abdullah)