PRO KONTRA METODE HERMEUNETIKA DALAM STUDI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
PRO KONTRA METODE HERMEUNETIKA DALAM STUDI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Oleh : Afif Zakiyudin, S.Sy[1]
Pendahuluan
Sudah jadi hal yang mafhum bahwa hukum itu terbatas sementara permasalahan terus berkembang. Oleh karenanya Islam memiliki watak transformatif yaitu berusaha menanamkan nilai-nilai yang baru dan mengganti nilai-nilai lama yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Orientasi dan metode yang digunakan transformasi Islam itu diletakkan dalam kerangka memecahkan masalah-masalah yang dihadapi manusia.
Islam memiliki dua karakteristik hukum yakni bersifat tetap (al tsabat) berlaku dalam bidang ibadah mahdhah dan dinamis (al tathawwur) yang berlaku dalam bidang muamalah. Dalam bidang muamalah berlaku asas ibahah, artinya semua diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Urusan muammalah sangat luas cakupannya, meliputi hukum perdata, pidana, politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya sehingga Nabi Muhammad Saw, dalam hadistnya menyatakan “antum a’lamu biumuri dunyakum” (kamu semuanya lebih mengerti urusan duniamu). Selain cakupan yang luas, hukum muammalah lebih terbuka untuk dikembangkan sehingga memiliki karakteristik al tathawwur atau dinamis. Berbeda dengan urusan ibadah yang bersifat mahdhah, karakteristiknya tertutup (tsabat) sehingga tidak diperkenankan menunaikan suatu ibadah jika tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya.
Penting dalam hukum muammalah peran al ra’yu untuk menjawab permasalahan hukum kontemporer. Ra’yu merupakan suatu cara untuk menetapkan suatu hukum dari permasalahan terkini yang belum diketemukan ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadist. Dengan potensi akal yang dimiliki, manusia mampu berpikir secara logis dan komprehensif dengan berpegang teguh pada Al Qur’an dan Hadist, dengan menggunakan manhaj (metode) melalui ijtihad menjadikan hasil ra’yu lebih absah.
Penting juga mengidentifikasi dan mengklasifikasi sumber ajaran Islam, aspek-aspek agama Islam dan Ilmu ke-Islam-an yang merupakan hasil ijtihad manusia dengan metode al ra’yu. Disini dapat dijelaskan kerangka hubungan sumber ajaran Islam, aspek agama Islam dan ilmu ke-Islam-an.
Ilmu-ilmu ke-Islam-an
Agama Islam mempunyai 3 aspek yakni akidah, syari’ah dan akhlak, ketiga aspek tersebut dikembangkan dengan menggunakan ra’yu melalui ijtihad para mujtahid sehingga lahir yang kemudian disebut dengan ilmu keislaman. Aspek akidah dikaji dan dikembangkan memunculkan ilmu tauhid/ilmu kalam, aspek syari’ah dikembangkan dan dikaji dengan metode ijtihad menghasilkan ilmu fiqih yang mencakup ibadah dan muammalah, terakhir aspek akhlak yakni tentang moralitas dan kesusilaan dikaji dan dikembangkan oleh akal manusia disebut dengan ilmu tasawuf.
Menjawab Permasalahan Hukum dalam Dinamika Kehidupan
Ada pertanyaan, mengapa ada campur tangan manusia dalam hukum Islam ? Jawabnya adalah, karena penggunaan akal pikiran dalam masalah keagamaan merupakan tuntutan agama. Q.S An Nisa menandaskan “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)”.
Dalam ayat tersebut dijelaskan akan kewajiban mentaati perintah Allah Swt, yakni perintah untuk mentaati isi al Qur’an, senada juga dengan perintah mentaati Rasul Saw yang berarti perintah mentaati sunnah Rasul Saw. Al Qur’an dan Sunnah Rasul Saw merupakan sumber utama dalam pembentukan ilmu-ilmu agama dalam berbagai aspek. Baik dalam al Qur’an maupun Sunnah Rasul Saw ada yang yang secara jelas menunjukan suatu ajaran atau hukum tertentu dan ada pula yang tidak, sehingga membutuhkan pemikiran untuk menarik kesimpulan dari dua sumber ajaran tersebut.
Masih pada ayat yang sama, diperintahkan untuk mentaati ulil amri. Ulil amri dipahami oleh ahli tafsir dalam dua pengertian yaitu Ulil amri dalam arti mujtahid (ulama) dan dalam arti umara (penguasa). Dalam arti ulama, maka perintah yang dimaksud adalah mengikuti hasil-hasil ijtihad para ulama dalam menafsirkan al Qur’an dan mengembangkan berbagai disiplin ilmu agama, termasuk diantaranya adalah ilmu fiqih. Tidak terbatas pada hasil ijtihadnya saja, juga melalui kasyfiyat yakni pengalaman-pengalaman spiritual para ulama melalui “pendekatan” dirinya kepada Allah melalui wirid dan amalan-amalan lainnya.
Dewasa ini, kajian dalam dalam islam tidak hanya terbatas pada ilmu fiqih, kalam dan tasawuf saja namun sudah pada taraf berbagai persepektif dan metodologi bidang keilmuan. Nalar sistem pengetahuan dan aspek kehidupan manusia dalam bidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum sudah jauh berkembang, sehingga dituntut untuk adanya penyesuaian pola pikir dengan karakter dan kepentingan manusia. Hal ini untuk menghindari adanya stagnasi dalam pemikiran Islam yang pernah terjadi dalam beberapa waktu silam.
Kajian terhadap suatu teori keilmuan dapat memberikan penjelasan yang terperinci dan sistematis dalam suatu objek. Penjelasan yang bersifat filosofis, termasuk suatu teori hukum pun dapat diperoleh didalamnya. Teori hukum dalam Islam tercermin dalam ushul fiqh, mencakup penalaran, argumentasi hukum, logika, teologi, linguistik dan epistemologi. Fiqih adalah kaidah hukum yang terperinci dalam berbagai cabangnya, sementara ushul fiqh terkait dengan metode yang diterapkan dalam mengkaji hukum dari sumbernya, atau dengan kata lain fiqih adalah hukum sedangkan ushul fiqih adalah metodologi hukumnya.[2] Istilah metodologi terkait erat dengan epistemologi yakni cabang filsafat yang mencari penjelasan mengenai proses dan tahapan dalam menghasilkan pengetahuan, sehingga ushul fiqh dalam istilah lain disebut juga epistemologi hukum Islam.[3]
Metode istinbat hukum, melalui ushul fiqh dapat membantu manusia dalam mengetahui hukum Allah sesuai dengan batas kemampuannya. Ia menjadi jembatan antara kehendak Tuhan dengan penangkapan pemahaman manusia, disinilah kemudian interpretasi makna menjadi urgen dan dibutuhkan. Salah satu metode dalam interpretasi makna adalah ta’wil dan hermeunetika. Ada yang menyebutkan bahwa ta’wil dan hermeunetika adalah sama, takwil hanyalah nama lain dari hermeunetika. Namun banyak pula yang mengatakan bahwa ta'wil berbeda dengan hermeneutika, karena ta'wil mendasarkan pada tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafazh harfiah Al Qur’an. Selain itu, orientasi ta'wil adalah penetapan makna, sedangkan orientasi hermeneutika adalah pemahaman yang berubah-ubah dan nisbi mengikuti pergerakan manusianya.[4] Sebagai teori interpretasi makna, baik hermeunetika maupun ta’wil banyak dikaji oleh para filosof dan mujtahid untuk mengkaji, memahami dan menafsirkan teks kitab suci.
Dalam artikel ini, penulis mencoba untuk mengkaji sejauh mana peran dan pengaruh hermeunetika dalam kajian hukum Islam, dan bagaimana perbedaannya dengan metode ta’wil. Hal ini menarik untuk dikaji mengingat karakter hukum Islam yang idealis. Dalam satu sisi bersifat qat’i atau tidak dapat diubah sampai kapanpun, dalam sisi lain bersifat zanni, ia sangat akomodatif terhadap perubahan.
Sekilas tentang Hermeunetika
Secara etimologi kata hermeunetika berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang artinya menafsirkan atau menginterpretasi. Hermeunetika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Ada tiga aktifitas utama dalam hermeunetika yaitu mengungkapkan, menjelaskan dan menerjemahkan.
Secara terminologi, hermeunetika adalah ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks dari ciri-cirinya, baik secara objektif dari gramatikal kata-kata dan variasi historisnya maupun subjektif atau maksud dari pengarangnya. Dari pengertian itu, setidaknya ada tiga unsur utama dalam kegiatan hermeneuein yaitu (1) adanya tanda, pesan atau berita yang berbentuk teks (2) ada kelompok penerima yang bertanya atau merasa asing dengan pesan atau teks itu dan (3) adanya pengantar yang dekat dengan kedua belah pihak.[5]
Istilah hermeunetika pertama kali muncul berbarengan dengan munculnya buku dasar-dasar logika karya Aristoteles yang berjudul Peri Hermeneias. Konsep logika dan penggunaan rasionalitas mulai diperkenalkan sebagai tindakan hermeunitis sejak kemunculan buku karya Aristoteles tersebut. Sejak abad 3 masehi, konsep hermeunetika mulai berpengaruh pada tradisi agama, hermeunetika digunakan sebagai tindakan memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam agama Kristen, konsep ini digunakan untuk menginterpretasikan Al Kitab, sementara dalam tradisi filsafat Islam digunakan istilah Takwil sebagai ganti dari istilah hermeunetik untuk menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat.[6]
Hermeunetika sebagai metode penafsiran dan perbedaannya dengan Takwil
Para ahli hukum berpendapat bahwa apa saja yang akan dijadikan objek kajian maka pendekatan keilmuan yang yang digunakan untuk mengkaji objek tersebut harus sesuai dengan karakter objek tersebut. Jika yang menjadi objek kajian adalah istinbath hukum menyangkut nash, jiwa dan tujuan syariat maka pendekatan yang akan diterapkan haruslah yang terkait dengan ketiga hal tersebut. Untuk itu, para ulama ushul fiqh dalam melakukan istibath pendekatan yang dikembangkan adalah pendekatan melalui kaidah kebahasaan dan pendekatan melalui makna atau tujuan syariat (maqashid al syariah). Pendekatan kebahasaan dilakukan karena kajian terkait dengan nash (teks) syariat, sedangkan pendekatan tujuan syariat karena kajian berhubungan dengan kehendak syar’i yang tentunya hanya dapat diketahui melalui kajian maqashid al syariah.[7]
Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam merupakan undang-undang yang adil, syariat yang kekal dan petunjuk yang nyata. Orang yang berhujjah dengan al Qur’an adalah benar, yang mengamalkannya akan mendapatkan pahala dan yang menghakimi dengannya pastilah adil. Untuk dapat sesuai dengan fungsi tersebut Allah memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya baik yang tersurat (manthuq) maupun yang tersirat (mafhum). Adapun cara yang dapat dilakukan untuk memahami isi kandungan Al Qur’an adalah dengan penafsiran. Dengan tafsir dan ilmu yang terkait dengannya, seorang muslim dianjurkan untuk menggali petunjuk Allah Swt yang masih umum makna dan pemahamannya untuk diketahui dan diamalkan sesuai dengan keberadaannya.
Tradisi pemahaman dan penafsiran Al Qur’an sudah ada sejak masa kenabian hingga akhir abad 17, dengan memperhatikan aturan, metodologi dan hal-hal yang terkait dengan penafsiran terhadap Al Qur’an. Salah satu disiplin ilmu yag harus dipelajari dalam penafsiran Al Qur’an adalah Ulumul Qur’an. Seringkali dalam memahami luasnya ilmu dalam Al Qur’an dialektika antara manusia dengan realitasnya turut mempengaruhi proses penafsiran, karena pada dasarnya al Qur’an turun untuk kemaslahatan manusia dan pula untuk memanusiakan manusia. Lafadz dalam al Qur’an terkadang diungkapkan secara tersirat dan tidak tersurat, untuk dapat mengetahui makna tersebut digunakanlah metode ta’wil yaitu sebuah metode untuk menemukan makna batin dalam pengungkapan teks atau dengan kata lain ta’wil adalah pendalaman makna dari tafsir. Sebagai contoh firman Allah dalam Q.S Al An’am ayat 95 yang artinya “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati”. Jika ayat tersebut dimaksudkan “mengeluarkan burung dari telur” maka itu tafsir, sedang bila maksdunya adalah “mengeluarkan orang beriman dari orang kafir atau orang yang berilmu daro orang yang bodoh”, maka itu adalah ta’wil.
Belakangan ini berkembang pemahaman bahwa ta’wil sama dengan hermeunetika, banyak para pemikir muslim kontemporer diantaranya Nasr Hamid Abu Zaid, Mohammed Arkoun, Muhammad Sahrur, Hassan Hanafi dan Fazlur Rahman berusaha untuk menerapkan hermeunetika sebagai metode baru dalam kajian al Qur’an. Meski begitu sebenarnya, ta’wil dan hermeunetika adalah dua hal yang berbeda. Hermeunetika merupakan suatu metode untuk menafsirkan simbol berupa teks atau semisal dengan teks untuk dicari arti dan maknanya, sedangkan ta’wil adalah metode untuk memahami kandungan makna ayat al Qur’an yang esoteris.
Problematika Pendekatan Hermeunetik dalam Hukum Islam
Dalam konteks hukum, hermeunetika dipahami sebagai metode interpretasi terhadap teks dengan teknis penafsiran dilakukan secara holistik dalam keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi. Teks tersebut berupa teks hukum, peristiwa hukum, dokumen resmi maupun kitab suci. Hermeunetika hukum mempunyai dua makna yakni pertama, sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum dan kedua, adanya korelasi dengan teori penemuan hukum. Hermeunetika tidak membedakan antara teks yang suci dan profan dengan teks agama dan teks sekuler. Karena itu teks kita suci dianggap sama dengan teks-teks lainnya.
Dari itu, setidaknya ada tiga masalah urgen terkait dengan hermeunetika. Pertama, universalitas hermeunetika sebagai metode masih diragukan. Kedua, hermeunetika muncul dari lingkungan ilmiah mulai menjauh dari pemikiran metafisis. Ketiga, hermeunetika berasal dari Yunani diadopsi para teolog Kristen sebagai tafsir Bibel yang coba dikembangkam menjadi teori sains kemanusiaan. Disamping itu hermeunetika juga mempunyai karakteristik yang berbeda dengan hukum Islam. Semua teks adalah sama dianggap sebagai karya manusia dalam hermeunetika, bila diterapkan dalam hukum Islam akan tertolak dengan dengan adanya sesuatu yang qat’i. Hermeunetika menilai semua teks sebagai produk sejarah. Sebagai sebuah asumsi bisa saja tepat untuk Bibel dengan segala problematikanya, namun tidak dengan al Qur’an sebagai sumber hukum Islam dengan kebenarannya yang melingkupi batas ruang dan waktu dan pesan-pesannya ditujukan untuk seleurh umat manusia. Kemudian hermeunetika menjadikan pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis, semua penafsiran bersifat relatif. Kebenaran terikat dengan konteks tertentu, apa yang benar menurut seseorang belum tentu benar menurut orang lain. Ini tentu berbeda dengan hukum Islam yang sifatnya merupakan kebenaran mutlak dengan sesuatu yang jelas tidak perlu dipertanyakan lagi (Ma’lum min al din bi al darurah).[8]
Istilah hermeunetika dalam kajian interpretasi pada dunia Islam memang suatu hal yang baru, sehingga dikalangan umat Islam sendiri ada yang menolak namun tidak sedikit juga yang menerima hermeunetika sebagai bagian dalam pemikiran Islam. Kelompok yang menerima hermeunetika dalam pemikiran Islam beralasan bahwa unsur pokok yang menjadi pilar utama hermeunetika adalah text, author dan audience tidak berbeda dengan konsep tafsir al Qur’an yaitu siapa yang mengatakan, kepada siapa diturunkan dan kepada siapa ditujukan.
Dari segi teks yang ditafsirkan, seluruh mufassir telah sepakat bahwa teks suci al Qur’an berbeda dengan teks lainnya termasuk dengan teks hadist Nabi Muhammad sekalipun. Teks al Qur’an sepenuhnya dari Allah Swt yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril, tidak ada intervensi manusia dalam pemilihan kata, kalimat dan isi atau pesannya. Keterlibatan manusia dalam diri Rasul Saw dan para sahabat sebatas menghimpun dan menjaga otentitas dan validitas periwayatannya. Meski demikian karena pesan Allah tersebut disampaikan dengan menggunakan bahasa yakni bahasa Arab, maka kemudian tergantung bagaimana memahami pesan itu dengan pendekatan bahasa. Bahasa tidak terlepas dari latarbelakang sosial, oleh karenanya para mufassir menjelaskan maksud Allah dalam firman-Nya melalui penelitian bahasa baik dari sisi tata bahasa (nahwu sharaf), asal usul kata (fiqh lughah) maupun sastranya (balaghah).[9]
Konsep hermeunetika yang berpedoman bahwa interpretasi teks yang doktrin dan dogmatis harus deabsolutisasi tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena umat Islam harus meyakini bahwa Al Qur’an adalah Kalamullah dan sebagai mukjizat tentu berbeda dengan teks lainnya. Doktrin akan kebenaran al Qur’an bersumber kepada Allah dan menjadi syarat keimanan bagi umat Islam. Seorang mufassir al Qur’an harus memenuhi beberapa ketentuan seperti menguasai as sunah, memahamai sepenuhnya nash atau teks as sunah, mengetahui dan memahami kisah-kisah sejarah di dalam al Qur’an, menguasai ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu gramatika (i’rab), ilmu balaghah dan lain yang terkait dengannya.
Hermeunetik dalam konteks studi pemikiran hukum Islam bisa menjadi suatu keniscayaan, namun sebagai metode penafsiran ta’wil lebih dekat untuk mempertahankan norma keimanan terhadap dasar-dasar keyakinan beragama. Ta’wil juga metode yang baik untuk menghilangkan keraguan karena ta’wil bukanlah alat untuk membatalkan keimanan atau mengkosongkan teks agama dari ruh agama dan ini bersebelahan dengan hermeunetika. Penerapan hermeunetika dalam hukum Islam akan menemui banyak kendala, karena dalam hukum Islam ada masalah yang sudah diterima secara aksioma tanpa perlu penafsrian dan pemahaman lain.
Refrensi :
- Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta : SIPRESS, 1994)
- Arip Purkon, Corak Pendekatan dalam Ushul Fiqh, Jurnal Miqot Vol 34 tahun 2010
- Abdurrazaq, Studi Analisis Komparatif antara Ta’wil dan Hermeunetika dalam Penafsiran Al Qur’an, (Jurnal Wardah Vol. 17 No.2 Desember 2016)
- Fahruddin Faiz, Hermeunetika Qur’ani : Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002)
- Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman, Para Filsuf Gerak Zaman (Yogyakarta : Kanisius, 1994)
- Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeunetik (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1996)
- Mohammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996)
- Shahiron Syamsuddin, Hermeunetik dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yagyakarta : Nawesea Press, 2009)
[1] Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unissula Semarang, Honorer di Pengadilan Agama Kajen.
[2] Mohammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori hukum Islam (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996) h.2
[3] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim, (Yogyakarta : SIPRESS, 1994) h. 53
[4] Abdurrazaq, Studi Analisis Komparatif antara Ta’wil dan Hermeunetika dalam Penafsiran Al Qur’an, (Jurnal Wardah Vol. 17 No.2 Desember 2016) h. 5
[5] FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman, Para Filsuf Gerak Zaman (Yogyakarta : Kanisius, 1994) h. 74
[6] Shahiron Syamsuddin, Hermeunetik dan Pengembangan Ulumul Qur’an (Yagyakarta : Nawesea Press, 2009) h. 5
[7] Arip Purkon, Corak Pendekatan dalam Ushul Fiqh, Jurnal Miqot Vol 34 tahun 2010 h. 231
[8] Fahruddin Faiz, Hermeunetika Qur’ani : Antara Teks, Konteks dan Kontekstualisasi (Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2002) h. 9
[9] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeunetik (Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, 1996)